parboaboa

Rekonsiliasi ala Bamsoet: Meredupnya Tradisi Oposisi dan Manuver Jelang Munas Golkar

Andy Tandang | Politik | 21-05-2024

Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet). (Foto: Instagram/@bambang.soesatyo)

PARBOABOA, Jakarta - Eskalasi politik selepas Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan hasil Pilpres 2024, agaknya mulai melandai.

Beberapa partai, yang sebelumnya menjadi rival Prabowo-Gibran dalam kontestasi lima tahunan itu, mencoba menggeser haluan.

Nasdem, misalnya. Partai utama pengusung Anies-Muhaimin itu bahkan sudah memberi sinyal, bahwa pertarungan pilpres sudah berakhir.

Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem, rupanya enggan terlarut dalam kekalahan. Paloh hanya ingin “mulai membuka buku baru dan menutup buku lama." 

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun demikian. Sinyal itu bisa terbaca dalam kunjungan Prabowo ke kantor DPP PKB setelah ditetapkan sebagai presiden terpilih.

Terlebih, partai yang dinahkodai Muhaimin Iskandar itu tak punya sejarah sebagai oposisi. Kemungkinan merapat ke gerbong Koalisi Indonesia Maju (KIM) bisa saja terjadi.

Sementara PDIP, sebagai partai utama pengusung Ganjar-Mahfud masih mengunci arah politiknya. Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Banteng Moncong Putih itu, belum juga membuka kartu.

Sempat berhembus kabar, Megawati bakal mengagendakan pertemuan dengan Prabowo jelang pelantikan, meski hingga kini tak kunjung terealisasi.

Kocok ulang langkah politik juga terekam di internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kiblat partai yang segerbong PDIP dalam koalisi pilpres itu belum juga diputuskan.

Mardiono, Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP, mengaku akan membahasnya dalam forum internal, melalui musyawarah kerja nasional (mukernas) atau rapat pimpinan nasional (rapimnas).

Namun, Politikus PPP, Sandiaga Uno, sudah memberi sinyal bergabung ke koalisi presiden terpilih. Sandiaga ingin mendukung persatuan dalam pembangunan dan Indonesia Emas 2045.

Di tengah peta konstelasi yang masih samar-samar itu, merekatkan kembali relasi politik yang terputus – menjadi agenda utama yang perlu diurai bersama.

Hal ini yang setidaknya menjadi alas pikir di balik wacana rekonsiliasi nasional yang digagas Ketua MPR, Bambang Soesatyo alias Bamsoet.

Bamsoet menyinggung gagasan yang digodok bersama Maruarar Sirait itu dalam acara “Tribute to Akbar Tandjung” di Gedung Nusantara IV DPR Senayan, Jakarta, Minggu (19/5/2024).

Baginya, rekonsiliasi nasional, yang hendak mempertemukan para kontestan yang bertarung dalam pilpres 2024, perlu segera dilakukan.

Ia tak ingin perbedaan pilihan politik Pilpres justeru mempertebal gesekan sesama anak bangsa. Demokrasi mesti dirayakan dengan gembira, menerima setiap hasil pertarungan dengan tangan terbuka.

Menurut Bamsoet, masih ada hal besar yang perlu dikerjakan, ketimbang menghabiskan energi menganyam permusuhan yang pada akhirnya mengganggu keakraban warga negara.

Rekonsiliasi nasional, kata dia, setidaknya menjadi ruang perjumpaan semua tokoh bangsa untuk merajut kekeluargaan di dalam rumah besar bernama Indonesia.

“Sudah saatnya kita bergandengan tangan,” ungkap wakil ketua umum Golkar itu.

Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Harian DPP Gerindra, menganggap wacana rekonsiliasi nasional mestinya diinisiasi oleh parpol dan presiden terpilih, bukan melalui lembaga negara.

Inisiasi Bamsoet itu juga sudah lama dilakukan Prabowo-Gibran, bahkan sejak quick qount dan sebelum ditetapkan MK dan KPU.

Bagi Dasco, upaya rekonsiliasi tidak untuk menghilangkan oposisi, tetapi menjadi wadah untuk menyamakan visi membangun Indonesia ke depan.

Menurutnya, capres terpilih Prabowo Subianto, memberikan kebebasan kepada parpol untuk memutuskan langkah politiknya, “entah dia ada di dalam pemerintah maupun di luar pemerintahan.”

Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, punya pikiran serupa. Menurutnya, rekonsiliasi nasional merupakan ide yang baik. Namun, bukan berarti seluruh parpol harus merapat ke pemerintahan.

Pilihan menjadi koalisi maupun oposisi, merupakan bagian dari rekonsiliasi itu sendiri, selama dilakukan demi kepentingan bangsa dan negara.

Justru ketika semua partai, kata dia, “meloncat jadi satu perahu, akan menjadi demokrasi yang lucu Indonesia."
 
Pakar Politik Universitas Nasional, Prof. Massa Djafar, menganggap gagasan rekonsiliasi nasional ala Bamsoet tidak ada yang istimewa.

Menurutnya, wacana mantan ketua DPR RI itu hanya sebatas pragmatisme demi kepentingan status quo; bagaimana memperkuat posisi Prabowo sebagai Presiden.
 
“Tapi apa isi gagasan Bambang tidak terbaca oleh publik,” ungkap Djaffar kepada PARBOABOA, Senin (20/5/2023) malam.

Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, kata dia, punya gagasan dan visi membawa Indonesia ke depan yang lebih baik.

Jika rekonsiliasi dimaknai dalam konteks bergabungnya Ganjar dan Anies ke kubu Prabowo, maka akan memunculkan pertanyaan; “Apakah mereka masuk koalisi hanya bicara soal bagi-bagi kekuasaan dan jabatan?”

Hal ini, demikian Djaffar, selain mengecewakan para pendukung Anies dan Ganjar, aspirasi politik mereka pun belum tentu diakomodasi dalam kebijakan pemerintahan Prabowo.
 
“Mereka merasa hanya dijadikan tunggangan. Bagaimana dengan aspirasi para pendukung,” katanya.

Apalagi, di balik kemenangan Prabowo, Djaffar mencium aroma dukungan oligarki yang bakal mengganjal aspirasi perubahan bisa ditransformasikan.

Dalam bacaan Djaffar, pilihan berkoalisi serentak menjadi kritis dan mampu memperjuangkan aspirasi pendukung dari dalam, bukanlah perkara mudah bagi Anis dan Ganjar.

“Bisa-bisa bertabrakan dengan kepentingan oligarki dan kelompok status quo,” tegas alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia itu.

Kehadiran Anies dan Ganjar dalam koalisi, selain berpotensi melemahkan oposisi, tetapi juga mengkonfirmasi hilangnya tradisi oposisi sebagai kekuatan penyeimbang dalam format politik Indonesia.

Djaffar psimis, merapatnya  Anies dan Ganjar ke kubu Prabowo tidak akan membawa perubahan signifikan, malah ikut menanam benih otoritarian dan semakin memperkuat praktek korupsi di Indonesia.

“Jadi dengan demikian, penyelenggaraan pilpres dan pileg dengan biaya mahal, tidak menjawab harapan dan perubahan kearah yang baik,” tutupnya.

Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Al-Azhar, menilai rekonsiliasi semestinya dilakukan dengan PDIP. Sebab, hingga saat ini partai ‘wong cilik’ itu belum menerima kemenangan Prabowo-Gibran.

“Masalahnya saat ini bukan di Ganjar-Anies, tetapi PDIP,” ungkap Ujang kepada PARBOABOA, Senin (20/5/2023) malam.

Ujang berharap, wacana rekonsiliasi nasional tidak hanya menjadi bualan politik semata, tetapi perlu diformulasi secara praktis di lapangan.

“Kita ini lebih banyak ngomong, banyak wacana, terlalu banyak permainan, padahal eksekusinya nol besar,” tegasnya.
Analisi Politik, Selamat Ginting, mendeteksi adanya manuver politis di balik wacana rekonsiliasi nasional yang digagas Bamsoet.

Menurutnya, Bamsoet merupakan rival politik Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, dalam dua kali perhelatan musyawarah nasional (Munas) partai beringin itu.

“Jadi wajar saja dia melakukan gerakan melakukan rekonsiliasi nasional untuk mendapatkan perhatian khusus, terutama kubu presiden Prabowo Subianto,” ungkap Ginting kepada PARBOABOA, Selasa (21/5/2023).

Manuver Bamsoet, kata Ginting, semakin terbaca mengingat Golkar bakal kembali menggelar Munas untuk pergantian ketua umum pada Desember 2024.

Posisi Airlangga yang sedang digoyang, semacam memberi alarm bahwa akan ada adu kekuatan di perhelatan Munas nanti.

“Tentu saja ini adalah langkah politis Bamsost karena dalam waktu dekat akan ada perhelatan Munas Golkar,” ujarnya.

Ginting menilai, rekonsiliasi nasional seharusnya tidak perlu dilakukan. Semua kontestan pilpres harus menyadari bahwa setiap pertarungan selalu ada yang menang dan ada yang kalah.

“Oleh karena itu para pemenang sudah berhentilah dengan euphoria kemenangan, sementara pihak yang kalah mesti move on bahwa dia kalah,” tutup Ginting. 

Editor : Andy Tandang

Tag : #Rekonsiliasi Pilpres    #Bamsoet    #Politik    #Pilpres 2024    #Rekonsiliasi Kontestan Pilpres   

BACA JUGA

BERITA TERBARU